Semar dalam Seni Pakeliran
Semar selalu muncul di setiap pentas wayang dalam babak gara-gara, di mana dunia sedang tergoncang.18 Gara-gara mulai tengah malam sebagai babak kedua dalam rangkaian episode perang kembang. Permainan gara-gara dapat saja beraneka ragam bentuk, tergantung sanggit-nya dalang. Tetapi, selalu berisi banyolan-banyolan Semar bersama-sama anak-anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka juga melagukan tembang-tembang Jawa dan masa kini diselingi dengan tembang keroncong, dangdut dan pesan-pesan sponsor.
Babak gara-gara ini menandai dunia sedang mengalami kegon-cangan, disebabkan ada seorang ksatria yang sedang sedih dan berkelana di hutan untuk mencari ketenteraman batin, atau untuk bertapa, atau dalam perjalanan menuju ke pertapaan seorang pendeta untuk berguru. Pada suasana seperti ini, para punakawan itu saling berulah atau dengan gaya masing-masing berupaya menghibur atau memberi nasehat agar tuannya, sang Ksatria, menjadi tenang kembali. Sang Ksatria itu aslinya adalah seorang ksatria muda, seperti Permadi dengan wajah bercat putih. Namun, dalam perkembangan kini dapat diperankan oleh ksatria-ksatria lainnya. Upaya penghiburan atau nasehat itu kadang berhasil, kadang tidak, dan kadang tidak jelas hasilnya sebab hiburan atau nasehat sebenarnya dikonsumsikan kepada penonton. Setelah selesai hiburan itu, mereka melanjutkan perjalanan, dan secara tiba-tiba mereka diserang oleh bala tentara raksasa yang dipimpin oleh tiga orang raksasa yaitu: Cakil, seorang raksasa ceking yang berwajah kuning, dan bertindak sebagai komandan yang diikuti dua raksasa lainnya yang berwajah merah dan hitam. Bala-tentara raksasa ini selalu diiringi oleh dua orang punakawan yang bernama Togog dan Sarawita.19
Dialog antara kedua pihak merebutkan jalan yang akan dilewati, di mana bala-tentara raksasa sebagai penunggu jalan tapal batas, melarang sang Ksatria untuk menerobos masuk wilayah kekuasaan raksasa. Bala-tentara raksasa sedang menunaikan tugas atas perintah raja agar mengembalikan siapa saja yang akan memasuki wilayah itu. Namun, sang Ksatria tetap pada pendiriannya, akan melanjutkan perjalanannya, akibatnya pertengkaran secara terbuka timbul dan pertempuran pun pecah. Dalam pakeliran, perang ini disebut dengan perang kembang, di mana semua raksasa mati terbunuh, dan Togog bersama Sarawita melarikan diri kembali ke kerajaan raksasa, dan nanti muncul kembali untuk mengikuti raksasa berikutnya dalam lakon yang lain.
Di medan pertempuran, sang Komandan, Cakil bertempur terlebih dahulu melawan sang Ksatria. Permainan raksasa bertubuh ceking ini bergerak amat lincah dan gesit, diiringi lengkingan suara yang kecil, memberi kesan suasana pertempuran amat indah dan enak untuk ditonton. Gerak lincah dan gesit itu dihadapkan pada perlawanan sang Ksatria yang halus dan lemah-lembut, tetapi juga tidak meninggalkan kesan kegesitan, yang terbukti pukulan sang Raksasa sekalipun cepat dan gesit, jarang sekali mengenai sasaran. Walaupun pukulan itu mengena sasaran, tetapi sang Ksatria tetap tidak tergoyahkan, dan sang Komandan, Cakil, akhirnya terbunuh dengan kerisnya sendiri. Akibat kematian sang Komandan, maka salah satu dari raksasa itu muncul untuk membela kematian pimpinannya. Perkelahian berlangsung amat sengit, namun pada akhirnya kedua raksasa itu pun mati terbunuh, terkena sasaran anak panah sang Ksatria. Dalam adegan perang ini, kadang-kadang Semar muncul dan bertindak meng-ambilkan busur dan anak panah sang Ksatria. Dengan berakhirnya pertempuran ini, berarti sang Ksatria mampu menyingkirkan rintangan pertama untuk mencapai tujuan berikutnya yaitu untuk berguru atau untuk memperoleh petunjuk dewa atau mencapai ketenangan batin. Semua itu amat berguna sebagai kunci untuk membuka dan memecahkan persoalan yang dibicarakan dalam babak awal yaitu jejer pertama, dan yang menjadi inti dari lakon tersebut.20
Analisis Struktural: Semar dalam Kosmologi Jawa
Jika kita cermati deskripsi episode di atas, kita dapat meng-identifikasi dua pihak yang saling berlawanan. Pertama, pihak raksasa yang terdiri dari tiga orang yakni Cakil berwajah kuning, Rambut Geni berwajah merah, dan Pragalba berwajah hitam. Mereka itu disertai punakawan yaitu Togog dan adiknya Sarawita. Pihak kedua, adalah pihak ksatria yang terdiri dari seorang ksatria yang disertai punakawan Semar beserta anak-anaknya. Rassers21 mengkategorikan kedua faksi itu ke dalam wayang kiwo bagi golongan raksasa melawan wayang tengen bagi golongan ksatria. Peperangan di antara keduanya merepresentasi-kan pertentangan dalam batin manusia berupa perebutan antara perbuatan baik, bijak, kasih-sayang melawan dorongan perbuatan-perbuatan jahat, tiran, kedengkian dan nafsu-nafsu badaniah lainnya. Dalam pentas pakeliran, angkara murka selalu dikalahkan oleh kebajikan, raksasa dibunuh oleh sang Ksatria, secara implisit mengidealkan kuasa-kuasa kebajikan mengatasi keangkaramurkaan. Atas dasar ini, maka Rassers menginterpretasikannya bahwa wayang sebagai pentas seni yang berfungsi sebagai sarana penyampaian ajaran etika dalam masyarakat Jawa. Sebetulnya lebih dari itu bahwa pentas wayang juga sarat dengan doktrin-doktrin agama yang amat dalam.
Dalam doktrin kejawen keangkaramurkaan meliputi tiga nafsu dasar manusia yaitu nafsu Sukarda, Angkara, dan Lodra22. Secara berturut-turut sama dengan terminologi Islam yaitu Sufiah, Amarah dan Aluamah, dan ketiganya masing-masing berasosiasi dengan unsur-unsur kosmis, angin, yang beridentifikasi warna kuning, api yang beridentifikasi dengan warna merah, dan tanah yang beridentifikasi dengan warna hitam. Semua itu disandikan dalam bentuk raksasa dalam seni pakeliran yaitu Cakil, Rambut Geni, dan Pragalba, yang diiringi Togog. Sebaliknya, kebajikan hanya terdiri dari satu dasar manusia, yaitu nafsu Nuraga atau Mutmainnah, yang disandikan sebagai ksatria yang berwajah putih, dan yang diiringi oleh punakawan Semar. Maka kita akan lebih mudah memahami posisi struktural dalam babak perang kembang ini jika diasosiasikan dengan struktur kosmologi manusia menurut konsepsi orang Jawa, yaitu sedulur papat lima pancer.23 Dalam konteks ini nafsu manusia itu merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan badaniah berhadapan dengan satu nafsu lainnya yang merepresentasikan dorongan manusia untuk berbuat kebaikan dan kebajikan serta kecintaan pendekatan diri kepada Tuhan. Posisi pancer dalam konstelasi struktur kosmologi itu diduduki oleh Bethara Guru sendiri, dan merupakan pancaran dari kuasa Ilahi yang imanen dalam diri manusia. Kemudian yang menjadi persoalan di sini adalah peran Semar dan Togog dalam konstelasi struktur itu. Agaknya Semar dan Togog ini, menurut mitos Manik Maya adalah imanen di alam mondial, merepresentasikan sebagai pengendali dorongan-dorongan nafsu manusia, di mana Semar merepre-sentasikan pengendali kebaikan dan kebajikan, maka berkolaborasi dengan pihak ksatria, sebaliknya Togog merepresentasikan pengendali nafsu keangkaramurkaan, maka berkolaborasi dengan raksasa. Atas dasar ini maka Semar dan Togog itu sebetulnya juga aspek dari Bethara Guru, yang berfungsi mengendalikan bekerjanya nafsu-nafsu manusia, di mana Semar pengendali pada pihak nafsu bersih, baik dan bijak, sebaliknya Togog pada pihak nafsu yang jahat, angkara murka, dan nafsu duniawi. Pada konteks ini, Semar adalah representasi kuasa Bethara Guru dalam peran memberi arah nafsu bersih dan suci terhadap dorongan nafsu Nuraga atau Mutmainnah. Sebaliknya, Togog berperan memberi arah pemenuhan nafsu-nafsu duniawi yang berujud dorongan nafsu Sukarda, Angkara, dan Lodra atau Sufiah, Amarah dan Aluamah.
Sesudah sang Ksatria utama berhasil mengatasi ketiga nafsu badaniah itu, maka dalam cerita selanjutnya, ia juga dapat menguasai rintangan-rintangan, dan biasanya menjadi kunci untuk membuka jalan penyelesaian persoalan yang menjadi tema lakon pentas wayang itu. Secara ideal sang Ksatria mencapai keselamatan atau menjadi penyelamat masalah persoalan hidup manusia. Dalam lakon Makutha Rama, pada adegan perang kembang menceritakan bahwa nafsu-nafsu Nuraga, Sukarda, Angkara dan Lodra menjumpai Arjuna agar menyem-purnakan keberadaan mereka. Atas petunjuk Semar, nafsu-nafsu itu hanya akan dapat disempurnakan dengan cara pembakaran melalui api ciptaan dari keheningan hati sanubari. Nafsu-nafsu itu terserap ke dalam api ciptaan itu, dan api ini pun padam terserap kembali ke dalam hati sanubari Arjuna. Dengan demikian, adegan perang kembang dalam lakon Makutha Rama itu memberi pelajaran kepada kita bahwa sifat-sifat dan nafsu-nafsu manusia itu akan menjadi sempurna dan terkendali apabila berada di bawah kekuasan manusia seperti Arjuna yang telah mampu menguasai nafsu badaniahnya, dan mampu menerapkannya dengan cara mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk meme-lihara ketertiban hidup bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya, maka banyak sekali orang Jawa memakai Arjuna sebagai model tingkah-laku dalam kehidupannya. Banyak orang Jawa yang nglakoni yaitu menjalani puasa dalam waktu tertentu dalam rangka untuk melatih diri menguasai nafsu-nafsu jahat. Dengan menjalani puasa ini dimaksudkan agar jiwa menjadi bersih, terhindar dari bisikan-bisikan setan sehingga akan lebih mudah mencapai pendekatan kepada yang Mahakuasa. Selain menjalankan puasa, juga mengurangi tidur dalam rangka untuk berusaha eling atau mengingat (dzikir) kepada Tuhan. Ada istilah dalam orang Jawa yaitu mangan longan turu longan, artinya mengurangi makan yakni dengan berpuasa, dan mengurangi tidur yakni lebih banyak berjaga di malam hari dalam rangka untuk berusaha mendekat kepada yang Mahakuasa. Biasanya puasa yang dilakukan sampai dengan empat puluh hari. Dengan nglakoni ini diharapkan nantinya akan memperoleh mukjizat yang berupa kasekten atau kesaktian yang bisa untuk memberantas keangkaramurkaan, dan selalu berusaha menegakan kebenaran dan keadilan.24
Gambaran di atas jelas sekali memiliki prinsip yang sama dengan pola umum perang kembang dalam pakeliran wayang purwa. Itu menginspirasikan bahwa peran Semar dan Togog bertindak sebagai pengendali dan pengarah bekerjanya nafsu-nafsu manusia, yang dikenal dalam terminologi Islam sebagai Mutmainnah, Sufiah, Amarah dan Aluamah. Peraga Semar dan Togog yang merepresentasikan pengendali nafsu-nafsu manusia itu, memang amat tersamar dengan identifikasi yang ambiguous. Itulah sebabnya, maka Semar itu diidentifikasi sebagai duda manang-munung, suatu ungkapan yang menggambarkan keadaan yang misterius dan ambiguous. Postur tubuh Semar kelihatan seperti laki-laki tetapi berpayudara seperti wanita. Sebaliknya, bukan juga perempuan sebab Semar memiliki kuncung. Semar dalam pakeliran wayang sering diidentifikasi sebagi dewa yang mengejawantah berbadan manusia, tetapi juga manusia yang memiliki sifat dan kuasa dewa.
Dengan demikian, jika analisis di atas dikaitkan dengan mitos Manik Maya, maka dapat dipahami bahwa Semar dan Togog itu sebetulnya adalah aspek dari Bethara Guru yang berperan sebagai pengendali nafsu-nafsu badaniah manusia. Dalam pentas pakeliran, seringkali Bethara Guru ini dikalahkan oleh Semar, dan tidak pernah ada sebaliknya, Semar dikalahkan oleh Bethara Guru. Namun harus dipahami, manakala Bethara Guru kalah berkelahi melawan Semar itu selalu terjadi pada waktu Bethara Guru menyimpang dari peran yang seharusnya dimainkannya, yaitu hendak memenuhi keinginan-keinginan lain yang berbeda dengan ketentuan yang telah digariskan sehingga menempatkan diri Bethara Guru dalam posisi yang lemah. Dalam posisi yang normal, mereka memiliki kuasa yang sama, hanya berbeda wilayah kekuasaannya. Prinsip ini juga berlaku pada manusia secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar