Sabtu, 24 Juli 2010

KEJAYAAN MATARAM

Tertulis dalam babad tanah Jawi, dalam ingatan orangtua
tentang Prabu Brawijaya Sang Kertabumi, raja di Majapahit
bahwa ia memperistri Putri Wandan, dan memperoleh putra
tampan berwibawa rupanya, ia disebut Raden Bondan Kejawan
Saat ia dilahirkan Majapahit telah mendekati kehancurannya
karena itu dititipkanlah ia kepada Ki Juru Sabin
apalagi karena ibundanyapun meninggal sewaktu melahirkan
Setelah mencapai usia remaja Bondan Kejawan dibawa ke Tarub
untuk dibina jiwa dan raganya oleh Ki Ageng Tarub
ketika disanalah ia berganti nama menjadi Raden Lembu Peten


Adapun Ki Ageng Tarub itu sebenarnya putra Dewi Rasawulan
yaitu putri tumenggung Tuban Wilatikta yang perkasa
ia pun adik Raden Said, yang disebut juga Sunan Kalijaga
Ki Ageng itu menikah dengan Dewi Nawang Wulan
dan menurunkan seorang anak wanita bernama Dewi Nawangsih
maka dengan Dewi Nawangsihlah Bondan Kejawan menikah
dan berputra Raden Getas Pandawa, yang lalu menurunkan
Ki Ageng Sela, abdi setia, prajurit di kesultanan Demak
Ia cakap mengabdi, bahkan turut perang melawan Majapahit
tetapi setelah tua kembalilah ia ke desanya
di sana menulis sebuah serat pepali untuk anak cucu



Dari putri Sumedang Ki Ageng sela menurunkan dua orang anak
yaitu Nyi Ageng Saba dan Ki Ageng Ngenis ing Nglawean
Ki Ageng Ngenis adalah pengabdi dan pendukung Mas Karebet
bahkan hingga naik takhta dengan gelar Sultan Hadiwijaya
Karena jasa-jasanya dari raja Pajang itu memperoleh dukuh Perdikan
yaitu Nglaweyan di mana ia kemudian menetap hingga mangkatnya
Putra Ki Ageng, yang bernama Ki Gede Pemanahan
menjadi abdi Sultan Pajang, dan diangkat menjadi kakak
Karena kasihnya ia selalu membela junjungannya
hingga berani menghadapi Arya Penangsang dari Jipang
seorang musuh Pajang yang sombong dan angkuh sikapnya
karena dukungan Ki Juru Mertani, Ki Penjawi dan Sutawijaya
berhasillah Ki Gede Pemanahan membinasakan Arya Penangsang
yang gugur dalam kemarahan di aliran Bengawan Sore
Karena jasanya itu maka Sultan Pajang menghadiahkan
Alas Mentaok dan daerah Kadipaten Pati
kepada Pemanahan dan kepada Penjawi.



Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat
berangkatlah rombongan Ki Gede ke Alas Mataram
di situ ada di antaranya: Nyi Ageng Ngenis, Nyi Gede Pemanahan
Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, dan pengikut dari Sesela
Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir
yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna
Setibanya di Pengging rombongan berhenti selama dua minggu
Sementara Ki Gede bertirakat di makam Ki Ageng Pengging
Lalu meneruskan perjalanan hingga ke tepi sungai Opak
Di mana rombongan dijamu oleh Ki gede Karang Lo
Setelah itu berjalan lagi demi memenuhi panggilan takdir
hingga tiba di suatu tempat, disana mendirikan Kota Gede



Semakin lama negeripun semakin berkembang jua
malah dilengkapi keraton yang selesai dibangun tahun 1578
Di sanalah Ki Gede Pemanahan memerintah, sebagai bawahan Pajang
Hingga akhirnya mangkat dipanggil ke hadirat Sang Pencipta
serta dimakamkan di halaman mesjid Agung di Kuto Gede
pada tahun ber-candrasengkala “Lunga trus rumpaking bala”
Maka Ki Gede Pemanahan meninggalkan tujuh orang anak:
Pertama Mas Danang, yang disebut pula Sutawijaya
dan sering dipanggil Raden Ngabehi Lor ing Pasar
kedua Raden Jambu, ketiga Raden Santri
keempat Raden Kedawung, kelima Raden Tompe
keenam istri Arya Dadap Tulis, ketujuh istri Tumenggung Mayang



Tersebutlah Sutawijaya ditunjuk Sultan Pajang
menjadi pengganti ayahnya, dengan gelar Senopati Ing Alaga
Ia adalah pemimpin yang cakap, dan prajurit yang gagah perkasa
tegasnya pantas ia menjadi raja, sebagaimana yang dicita-citakannya
Sewaktu bertirakat di batu besar Lipura ia mendapat wahyu
bahwa akan menjadi raja, yang menurunkan Wangsa Agung
diperingati oleh paman Ki Martani, ia menyusuri kali Opak ke arah timur
lalu bertapa di laut selatan, yaitu di tepi ombak yang menderu
di tempat bernama Sawangan, di wilayah Kanjeng Ratu Kidul
Sementara itu Ki Juru Martanipun memberinya dukungan
dengan menjalankan prihatin tapa, di lereng gunung Merapi



Setelah itu bersiaplah mereka mempersiapkan kebangunan Mataram
menjawab panggilan sejarah, memenuhi amanat leluhur
Segala adipati, penguasa, dan tokoh di sekitar Mataram
ditundukannya untuk menjadi pendukung usahanya
Ki Ageng Mangir, adipati Kulon Progo, yang ingin merdeka
dibinasakannya, walau ia adalah seorang menantu
yaitu suami Kanjeng Ratu Pembayun, putri Senopati
yang suka supaya ayahandanya dan suaminya mau bersatu
Seterusnya Senopatipun memperkuat semua pasukannya
juga membangun parit dan benteng, seakan menantang Pajang
Setelah itu ditemukannya berpuluh dan beratus halaman
tempat dituliskannya seribu satu malam alasan
untuk tidak datang ke Pajang, dan bersembah kepada raja
Marahlah Adiwijaya, Pajang menyerbu, pertempuran pecah di Prambanan
gagah orang Mataram berjuang, maka Pajangpun mengundurkan diri
Pada perjalanan pulang Sultan Adiwijaya jatuh sakit
dan sangat parah keadaannya sewaktu tiba di kota
penuh hormat dan kasih Senopati mengiringkan perjalanannya
malah menyuruh letakkan serumpun kembalian cinta
berupa kembang selasih, yang diletakkan di gerbang istana
akhirnya mangkatlah Sri Sultan, terbukalah jalan bagi Mataram
Maka kemenangan Mataram itu terjadi pada tahun Saka 1508
dan diperingati dengan Candrasengkala pada gerbang mesjid Agung



Setelah itu mulailah Sang Panembahan Senopati berperang
untuk menaklukkan daerah-daerah di tanah Jawa
ia pergi bertempur melawan adipati-adipati di timur
bahkan pernah pula berlaga melawan Pati
berperang melawan Pragola Pertama, putra Ki Penjawi
demikianlah hidupnya penuh perjuangan, hingga ia mangkat
pada tahun 1601 di Bale Kajenar yang disebut juga Gedhong Kuning
seperti ayahandanya iapun dimakamkan di halaman mesjid Agung
di ibukota praja Mataram, negeri para perwira



Lalu naiklah raja baru, yaitu Mas Jolang, anak Kanjeng Ratu Pati
ia mengenakan gelar Sunan Hadi Prabu Anyakrawati
Walaupun sebentar memerintah iapun sering bertempur
melawan para adipati di timur dan di pesisir utara
serta terus berusaha menanam pengaruh, di Sumatra dan Sukadana
Di bidang pembangunan ia rajin memperindah istana
juga tekun mendorong perkembangan sastra
Sebagai contoh adalah menjadi majunya ilmu pewayangan
sebagai buah-tangan hasil karya Ki Dalang Panjang Mas
Adapun Sunan Hadi Prabu Anyakrawati mangkat
ketika celaka sewaktu melakukan perburuan di Krapyak
maka iapun disebut orang Panembahan Seda Krapyak
ia dimakamkan di Kota Gede bersama dengan seluruh keluarga istana



Lalu naik takhtalah Mas Rangsang, putra prabu
dari Kanjeng Ratu Pajang
pembawaannya sungguh seperti Senopati Ing Alaga
dan sebagai imam disebut pula Sayidin Panatagama Khalifatullah
sedangkan gelarnya adalah Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma
Ia adalah negarawan yang berkemauan dan bercita-cita keras
bijaksana, jujur, adil, menyukai sastra, dan bertakwa
Sejak mulai memerintah tekun membina roda pemerintahan
memperkuat tentara dan mengukuhkan kehormatan Mataram
kesiagaan kerajaan agung ditingkatkan dan kewaspadaan dijaga
sebab dimana-mana timbul tantangan dan perlawanan
Tahun 1614 Mataram menyerbu kota-kota Pasuruan dan Lumajang
tetapi lalu mundur di kejar gabungan tentara Wetan
pecah pertempuran di tepi sungai Andaka dan Matarampun jaya
Tahun 1615 di bawah pimpinan Prabu Agung Mataram menyerbu
Wirasaba, kota benteng di Maja Agung, diporak-porandakan
Tetapi telah berkumpul di Lasem para adipati Wetan
dipimpin dipati Surabaya yang ingin menahan kemajuan Mataram
Tentara Mataram yang sedang kembali dikejar mundur
hingga di Pajang dimana tentara Wetan dipukul mundul
Tidak menyerah pada tahun 1616 gabungan adipati Wetan ganti menyerbu
di Siwalan-Pajang pecah pertempuran yang dimenangkan Mataram
terus Mataram maju menyerang dan merebut Lasem
dan pada tahun berikutnya menaklukkan Pasuruan
hingga adipatinya terpaksa lari ke Surabaya



Seterusnya pada tahun 1618 Pajang memberontak maka dijarah habis
kotanya dihancurkan dan penduduknya digiring ke Mataram
Tahun 1619 pelabuhan Tuban di kepung selama berbulan-bulan
hingga rakyatnya menyerah karena tak tahan derita
Tahun 1620 dan 1621 Mataram menyerbu Surabaya, tetapi gagal
sebab selat Madura belum dikuasai, dan bantuan pangan tetap datang
dari para sekutu di Madura dan di Sukadana
Tahun 1623 Mataram menyerbu lagi dengan ganasnya
habis rusak Jortan, Gresik dan seluruh kitaran Surabaya
Adipati Kendalpun dikirim untuk merebut Sukadana
Tetapi tetap saja Surabaya tangguh bertahan dalam serbuan itu
akhirnya gelombang prajurit Mataram menyapu Madura
Sumenep, Bangkalan dan Sampang semua tunduk tanpa kecuali
banyak para ningrat terbunuh, banyak pula yang lari ke Giri dan Banten
Setelah itu dikepunglah Surabaya dan dibendunglah sungai Mas
ditaburkan racun dan bisa pada airnya yang menggenang di kota
ribuan rakyatnya mati karena penyakit dan kelaparan
maka setelah bertempur dengan penuh keberanian dan kegagahan
akhirnya Surabaya tunduk dan menyerah kalah
Pada tahun 1625 yaitu di puncak kejayaan Mataram
dibuatlah meriam Pancawura sebagai lambang kekuasaan
Tetapi perang penaklukkan oleh Mataram belum selesai
sebab tanah Jawa belumlah semuanya tunduk



Pada tahun 1627 Prabu Agung memimpin pasukan menyerbu Pati
karena Pragola kedua terlihat akan memberontak
kota Pati dijarah habis dan rakyatnya dijadikan tawanan
sedangkan keluarga Pragolapun sirna dari sejarah Jawa
Setelah itu bersama tentara Sunda dari Ukur dan Sumedang
pasukan Mataram menyerbu kedudukan Belanda di Betawi
dalam penyerbuan pertama di tahun 1625
dan dalam penyerbuan kedua di tahun 1626
Walaupun gagah dalam menyerbu Mataram terpaksa mundur
karena kuatnya pertahanan kota Belanda di Betawi
dan jayanya armada laut serta mutakhirnya persenjataan
Beberapa saat setelah itu bergolak pula daerah Kulon
karena Ukur dan Sumedang memberontak kepada raja
maka dengan dukungan Panembahan Cirebon dan para umbul Sunda
menyerbulah Mataram dan memadamkan pemberontakan
sedangkan adipati Ukurpun dihukum mati


Tetapi Sultan Agung bukanlah hanya pemenang dalam perang
sebab ia juga menjadi pelopor pembangunan dan kebudayaan
Kraton didirikan, mesjid diperindah, dan gerbang Tembayat dipugar
Ia menulis surat sastra Gending, tentang hal kebatinan
yaitu persatuan antara sastra aksara dan gending marifat
Ia juga menyatukan tarikh saka dan tarikh hijrah
dan memadu perayaan garebeg dengan puasa dan maulud
maka di masa itu ia memerintahkan penulisan babad kejayaan
Walaupun semua berjalan dengan lancar dan baik
terjadi pula beberapa keresahan di Mataram
Pada tahun 1630 beberapa pengikut Tembayat
dengan dukungan Tepasana dan Kajoran memberontak
tetapi kemudian tunduk kepada kewibawaan Prabu Agung
Selanjutnya pada tahun 1636 Panembahan Kawis Guwa
yaitu keturunan Sunan Giri, menolak kekuasaan Mataram
akibatnya Giri diserbu dan Panembahan dikalahkan
Pada tahun 1635 Matarampun telah menyerbu Balambangan dan Panatukan
yang kukuh bertahan karena bantuan Dewa Agung dari Gelgel
Lalu pada tahun 1639 sekali lagi Mataram menyerbu ke timur
Setelah menang ingin terus menyerbu ke pulau Bali
tetapi rencana dibatalkan karena banyak perwira telah gugur
Demikianlah Mataram itu pada puncak kekuasaannya
besar, megah dan sangat unggul di sebagian besar Jawa
serta dihormati oleh Jambi, Palembang, Banjar dan Makasar
yang sering mengirimkan utusan dengan hadiah ke ibu kota
Akhirnya pada bulan Februari tahun masehi 1646
mangkatlah Sultan Agung dan dimakamkan di Imogiri
yaitu bukit pemakaman keramat keluarga istana
yang menjadi lambang dan tanda keagungan Mataram



Lalu naik takhtalah Pangeran Adipati Anom,
putra prabu dari Kanjeng Ratu Kulon
yang memerintah dengan gelar Susuhunan Amangkurat pertama
Pada dirinya itulah terhimpun riwayat dan sejarah keluarga
dari pihak ayahandanya berdarah Senopati dan Pamanahan
dari pihak ibundanya ia mewarisi darah para pemuka Sunda
Sebab ibunda Kanjeng Ratu Kulon bukan saja memiliki Batang,
sebagai tanah gaduhan
tetapi ia juga putri Panembahan Cirebon, yaitu Panembahan Ratu
Sedangkan Panembahan Ratu adalah turunan darah Syarif Hidayatullah
yaitu wali yang disebut Susuhunan Gunung Jati, dan
Ibunda Gunung Jati adalah Nyi Rara Santang yang saleh
adik Panembahan Cakrabuwana,
yaitu Raden Arya Santang atau Haji Abdul Iman
dan kakak Sunan Rakhmat Suci,
yaitu Raden Kian Santang atau Prabu Sagara
Maka mereka bertiga itu adalah anak Nyi Ratu Subang Karancang
yaitu santri wanita, putri patih Mangkubumi dari Jayasingapura
yang dijadikan istri oleh Prabu Siliwangi Ratu Jayadewata
penguasa Prahajyan Sunda yang agung dan luhur
disebut juga Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran
Karena itu pada diri sang Adipati Anomlah bersatu
darah Brawijaya, darah Mataram dan darah Siliwangi



Adapun masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat Ingalaga Mataram itu
penuh dengan kemelut, bencana, dan gejolak musuhnya
banyak baik di luar maupun di dalam istana
baik di kalangan sentana raja, ulama, maupun penguasa daerah
dan sering pula mengalami pecahnya pemberontakan
Pada tahun 1647 Balambangan mengangkat senjata
dipimpin Tawang Alun yang ingin merdeka dari Mataram
maka terjadilah penyerbuan ke timur dan pertempuranpun pecah
banyaklah pejabat Mataram yang gugur dalam memadamkan pemberontakan
Demikian pula di Mataram Pangeran Alit dibinasakan para pengawal raja
karena dengan keris terhunus ingin membunuh kakanda prabu
Seterusnya Amangkurat bersilang jalan pula dengan Pamanda Purbaya
dan bahkan di kemudian hari dengan anak kandungnya, Adipati Anom
yang lahir dari Kanjeng Ratu Surabaya, putri Pangeran Pekik
yaitu Adipati Surabaya yang dihukum mati Amangkurat
Maka dalam suasana kemelut dan pecah-belah itu
kekuatan lawan perlahan-lahan mulai tersusun
Trunojoyo, turunan Sampang dan Bangkalan membangkang
dibantu Kraeng Galesung, pemimpin pelarian Makasar di Demang-Basuki
didukung oleh keluarga besar Kajoran di Klaten
yang di pimpin oleh Raden Kajoran Ambalik, yaitu Panembahan Rama
bahkan putra mahkota Adipati Anom mulanya bersahabat dengan Trunojoyo



Pada tahun 1675 serangan Madura dan Makasar datang melanda
dan secara singkat wilayah dari Gresik hingga Pajarakan jatuh
di Madura Trunojoyo mengambil gelar Panembahan Maduretna
dan dengan restu Sunan Giri menundukkan kota Surabaya
Akhirnya bergeraklah tentara Mataram dengan dukungan pasukan Sunda
di bawah pimpinan Pangeran Purbaya
dan Adipati Anom yang bersetengah hati
pertempuran pecah di Gegodog, di sebelah timur Tuban
Mataram dikalahkan, Purbaya gugur dan Anom melarikan diri
Tentara Trunojoyo terus menyerbu dengan penuh semangat
hingga jatuh seluruh pantai utara, kecuali kota Jepara
Sementara itu Belanda ingin melihat Mataram berkuasa terus
maka pada tahun 1677 menyerbu Madura dan merusak Maduretna
Tetapi tentara Trunojoyo dan Kajoran telah memasuki Mataram
tanpa tertahan oleh para pangeran yang terpecah belah
maka kraton di Pleredpun jatuh serta dibakar habis
seluruh harta kekayaannya diangkut ke Jawa Timur



Dalam keadaan sakit Susuhunan mengundurkan diri ke barat
untuk meminta bantuan keluarga ibunya merebut Mataram
dengan diiringi keluarga dan para pengawal yang setia
dilintasinya Bagelen, pegunungan Kendeng, wilayah Banyumas
kemudian terus ke utara menujun ke daerah Batang
Sementara itu Adipati Anom bertobat dan menggabungkan diri
lalu dari tangan ayahnya menerima semua pusaka kraton
Sebelum mencapai Tegal Susuhunan Amangkurat meninggal dunia
dan disemayamkan di sebuah bukit kecil di Tegal Arum
dan sejak saat itu disebut Panembahan Seda Tegal Arum


Maka hilanglah segala kebingungan dan kelesuan dari putra sang Prabu
bangkitlah semangatnya dan bercahaya wajahnya karena wahyu keratuan
disebutnya dirinya dengan gelar Susuhunan Amangkurat kedua
dan diterimanya pengakuan dari para pangeran dan penguasa
Pasir luhur, Batang, Cirebon, Semarang dan Jepara mendukungnya
juga diterimanya janji untuk membantu dari Belanda
Bersama pasukannya ia maju kearah timur untuk merebut hak
tetapi tertahan di batas Mataram, karena ulah kakanda Puger
yang dalam keadaan kacau telah mengangkat dirinya menjadi raja
maka Amangkurat Amral berbelok ke utara menuju Jepara
di sana menandatangani perjanjian dengan Belanda
dilepasnya seluruh hak atas Jawa Barat, dan ditanggungnya biaya perang
kemudian Belanda merebut seluruh wilayah Pantai utara
untuk diserahkan kembali sebagai milik Susuhunan
Raja Mataram sendiri merebut Kediri, dimana Trunojoyo ditangkap
dengan kerisnya sendiri Susuhunan menghukumnya mati
Lalu pada tahun1680 Amangkurat mendirikan istana di Pajang-Wanakerta
dan pada tahun 1681 menerima penyerahan diri kakanda Puger
tetapi keluarga Kertasana dari Brantas dan Kajoran dari Klaten
begitu pula orang-orang Wanakusuma dari Gunung Kidul
dengan teguh meneruskan perjuangan mereka
hingga kelak bergabung dengan Untung Surapati di tahun 1686



Susuhunan Amangkurat ke dua memerintah hingga tahun 1703
yaitu tahun dimana sang prabu meninggal dunia dan dimakamkan
Lalu naik takhtalah putra sang prabu, yaitu Susuhunan Amangkurat ketiga
dibantu oleh Patih Nerang Kusuma, Panembahan Cakraningrat
dan Untung Surapati
raja muda itu ingin mengikis habis pengaruh Belanda di Mataram
Pamanda Puger yang ingin menjadi raja merasa dicurigai
maka larilah ia ke Semarang untuk meminta bantuan Belanda
kembali bersama Belanda ke Mataram ia mengangkat dirinya menjadi raja
dan disebut dengan gelar Sinuwun Pakubuwono pertama
sedangkan Amangkurat ke tiga dan para pengikutnya lari ke timur
untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda bersama Surapati
Setelah Surapati gugur pada tahun 1706
Susuhunan terus melawan hingga tahun 1708
yaitu ketika ia menyerah kepada Belanda
Seterusnya ia diasingkan ke negeri Sailan,
hingga mangkat disana pada tahun 1737.



Di negeri Mataram Pakubuwana pertama diikuti oleh yang kedua dan ketiga
maka pada masa Pakubuwana ketigalah Pangeran Mangkubumi memberontak
Karena ia tak terkalahkan diadakanlah perjanjian Giyanti pada tahun 1755
Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta
di Surakarta berkuasa wangsa Pakubuwana
dan di Yogyakarta wangsa Hamengkubuwana
Selanjutnya terjadi lagi pemberontakan oleh Raden Mas Said,
putra Mangkunegara,
yang selama masa peperangan disebut Pangeran Samber Nyawa
Iapun tak terkalahkan, sepak terjangnya benar-benar perkasa
Pada tahun 1757 diadakanlah perjanjian Salatiga
antara Raden Mas Said, Kasunanan dan Kompeni Belanda
di mana di sepakati bersama pembentukan wilayah Mangkunegaran
Terakhir adalah pembentukan wilayah Paku Alaman
Sewaktu Inggris menguasai Jawa dari tahun 1814 hingga 1818
ketika itu Pangeran Natakusuma dianggap berjasa
dan diangkat Gubernur Jendral menjadi Sri Paku Alam Kesatu
Demikianlah berlalu kebesaran dan kejayaan Mataram
untuk dikenang oleh semua orang yang menjadi pewarisnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar